Skandal Intelektual (BBM)
Skandal Intelektual by : Teuku Kemal Fasya*
Sejak sebulan lalu, ketika telah muncul skenario menaikkan harga BBM,
pemerintah mengeluarkan pelbagai jurus untuk “melumpuhkan” kesadaran
publik, di antaranya menggelentorkan iklan di media bahwa pemilik
kendaraan sangat berdosa menggunakan “BBM bersubsidi” sebab mengambil
jatah rakyat paling miskin.
Iklan terus-menerus meneror publik
dengan kata-kata pencabutan subsidi BBM demi kesejahteraan publik agar
pelayanan kesehatan dan pendidikan lebih baik.
Yang tak alpa
juga digunakan adalah menghadirkan para cendekiawan, akademikus, “orang
kampus”, terutama yang berlatar belakang ekonomi untuk memberikan
“pembenaran” atas apa yang dilakukan pemerintah.
Hitungan
statistik konsumsi BBM tidak tepat sasaran, rasio kenaikan harga minyak
mentah dengan ketahanan APBN, dan perlunya modal untuk mengembangkan
riset dan teknologi untuk energi terbarukan dibandingkan menggunakan
minyak, dan sebagainya.
Namun fatwa cendekiawan yang pro pasar
bebas ini tidak sesuai dengan nadi masyarakat yang melihat pemerintah
kurang serius mencari solusi selain menaikkan harga BBM sesuai dengan
petunjuk “New York”.
Karena itu, tak heran muncul komentar
wakil menteri ESDM yang terkesan arogan di telinga publik, kalau negara
ini ingin maju seperti Rusia, India, China, dan Korea Selatan, subsidi
harus dicabut.
Jangan salahkan kalau mahasiswa pun berontak.
Mereka melancarkan demonstrasi dan hanya ditemani kelompok buruh
mengepung Senayan agar menolak opsi perubahan APBN yang melegalisasi
kenaikan harga BBM. Aksi ini ternyata cukup sukses membuat DPR dan
pemerintah menunda kenaikan harga BBM.
Mahasiswa dalam
kapasitas intelektualnya bersikap sinis dengan pemerintah karena tega
menghisap rakyat melalui “politik penyelamatan APBN” yang secara riil
membiarkan masyarakat membelanjakan kebutuhan pokok dengan harga mahal.
Mahasiswa menganggap pemerintah tidak memihak masyarakat.
Pada
situasi itu, siapakah sesungguhnya yang bisa disebut intelektual? Para
akademikus pro pasar besar, teknokrat, dan rezim pendukung liberalisasi
migas, ataukah mahasiswa dan intelektual kritis seperti Kwik Kian Gie
dan Ikhsanuddin Noorsyi yang anticara berpikir pemerintah?
Menggugat Kekuasaan
Seorang intelektual—seperti diungkap pakar poskolonial Geeta
Chowdhry–adalah sosok yang “secara jernih memandang setiap konteks
imperialisme, dan punya keinginan kuat memproblematisasi representasi
kultural yang terlanjur memperkuat situasi ketidakadilan antara penguasa
(the colonizer) dan yang dikuasai (the colonized)” (Chowdhry, Power,
Postcolonialism, and International Relations, 2002).
Di tengah
situasi “peradaban bisnis” seperti sekarang ini, sikap kritis harus
dimiliki semua orang, termasuk kelompok terpelajar. Jika tidak, mereka
hanya akan menjustifikasi dan melegitimasi bentuk-bentuk dominasi, dari
skala lokal hingga global.
Dengan definisi itu, performa
teknokrat dan “cendekiawan negara” itu gagal disebut sebagai
intelektual. Mereka gagal menunjukkan kemewahan intelegensianya untuk
membongkar problem sosial dan kemanusiaan negeri ini. Mereka hampir
tidak bicara status moral kekuasaan.
Momen bicara itu hanya
jadi ajang mengampanyekan visi “pembangunanisme” dengan dasar
liberalisme agar Indonesia menjadi salah satu negara adidaya di dunia,
membangun fondasi ekonomi paling kuat di Asia, dan tak lama lagi akan
menuju menjadi negara makmur.
Pernyataan seperti itu penuh debu ketidakcocokan dengan realitas yang diserap mayoritas rakyat.
Pernyataan seperti itu hanya mengulang dogma klasik pengikut
neoliberalisme yang mencoba mematut-matutkan diri di tengah agenda
pembangunan versi lembaga-lembaga ekonomi dunia dan negara asing untuk
Indonesia. Kenyataannya, secara praksis rumah Indonesia ini belum
menjadi tempat yang nyaman bagi sebagian besar warganya.
Fenomena kemiskinan absolut, pengangguran yang semakin memuncak, lautan
demonstrasi buruh akibat upah murah, demonstrasi mahasiswa hingga
berdarah akibat rencana kenaikan harga BBM yang dituntun skenario
global, buruknya sistem pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi
mayoritas warga, keadilan yang tidak terakses bagi semua, peradilan
sesat, mafia pajak, politik uang, dan perusakanan lingkungan adalah
lukisan realis Indonesia hari ini. Gambaran surealisme Indonesia 2045
itu sama sekali tidak menjejak di bumi.
Kata untuk Dunia
Kejadian ini menunjukkan tidak semua komunitas bergelar dari
universitas dan mendisiplinkan diri pada tradisi akademis dapat disebut
intelektual. Edward Said, seorang pakar linguistik sekaligus tokoh
poskolonial dari Columbia University, mengatakan seseorang ditahbiskan
sebagai intelektual karena memiliki kata-kata yang bisa digunakan untuk
menembus dunia.
Intelektual merepresentasikan keyakinannya
kepada publik melalui kata-katanya; cermin teguh diri pada kebenaran.
Seorang intelektual harus siap terasing.
Ia tidak harus
melakukan penyesuaian kepada masyarakat atau memberontak terhadap segala
kemapanan. Ia hanya mengabdikan diri pada pencarian kebenaran melalui
metodologi yang dimilikinya untuk memproduksi pengetahuan (Edward Said,
2008).
Kaum cendekiawan yang hanya menyalin kata-kata
pemerintah tanpa pernah bersikap oposisi sesungguhnya tidak dapat
dikatakan intelektual. Tentu tidak disalahkan jika ada di antara barisan
akademikus yang menjadi staf khusus presiden, staf ahli gubernur, staf
ahli bupati, dan sebagainya.
Namun yang diperlukan, berdasarkan
profesinya adalah tetap setia pada “asas keberantaraan”, antara
merekonstruksi dan mendekonstruksi. Pada tikungan terakhir, ketika
negara/elite gagal merepresentasikan masyarakat dan kemanusiaan, ia
harus menghindar agar tidak terjerumus sebagai propagandis atau juru
bicara pseudo-borjuis.
Jalan yang jarang ditapaki inilah harus
diambil setiap intelektual. Ia tak harus menjadi aktivis yang selalu
mengkritik pemerintah, namun harus mampu berposisi untuk membongkar
kebohongan-kebohongan, menganalisis masalah/motif/relasi kekuasaan, dan
membuat pertanyaan untuk hal yang sering tidak dipertanyakan lagi.
Ia harus menjadi “nabi bagi kebenaran yang tak tersekat waktu”. Ia
harus berusaha mempertahankan status moral, kemanusiaan, dan kebudayaan
agar lebih tinggi dari kepentingan politik dan ekonomi. Jika tidak ia
hanya akan menjadi pengutip data statistik kemudian menggunakannya untuk
berdusta.
Tentu bukan itu peran intelektual. Karena jika itu
maka lebih tepat disebut sebagai “perselingkuhan yang berhasil”, memakai
istilah Paul Ricoeur, seseorang mengaku intelektual tapi melakukan
tindakan-tindakan anti-intelektual. Jangan sampai!
*Penulis adalah dosen di FISIP Universitas Malikussaleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar