Minggu, 08 April 2012

Skandal Intelektual (BBM)

Skandal Intelektual by : Teuku Kemal Fasya*

Sejak sebulan lalu, ketika telah muncul skenario menaikkan harga BBM, pemerintah mengeluarkan pelbagai jurus untuk “melumpuhkan” kesadaran publik, di antaranya menggelentorkan iklan di media bahwa pemilik kendaraan sangat berdosa menggunakan “BBM bersubsidi” sebab mengambil jatah rakyat paling miskin.

Iklan terus-menerus meneror publik dengan kata-kata pencabutan subsidi BBM demi kesejahteraan publik agar pelayanan kesehatan dan pendidikan lebih baik.

Yang tak alpa juga digunakan adalah menghadirkan para cendekiawan, akademikus, “orang kampus”, terutama yang berlatar belakang ekonomi untuk memberikan “pembenaran” atas apa yang dilakukan pemerintah.

Hitungan statistik konsumsi BBM tidak tepat sasaran, rasio kenaikan harga minyak mentah dengan ketahanan APBN, dan perlunya modal untuk mengembangkan riset dan teknologi untuk energi terbarukan dibandingkan menggunakan minyak, dan sebagainya.

Namun fatwa cendekiawan yang pro pasar bebas ini tidak sesuai dengan nadi masyarakat yang melihat pemerintah kurang serius mencari solusi selain menaikkan harga BBM sesuai dengan petunjuk “New York”.

Karena itu, tak heran muncul komentar wakil menteri ESDM yang terkesan arogan di telinga publik, kalau negara ini ingin maju seperti Rusia, India, China, dan Korea Selatan, subsidi harus dicabut.

Jangan salahkan kalau mahasiswa pun berontak. Mereka melancarkan demonstrasi dan hanya ditemani kelompok buruh mengepung Senayan agar menolak opsi perubahan APBN yang melegalisasi kenaikan harga BBM. Aksi ini ternyata cukup sukses membuat DPR dan pemerintah menunda kenaikan harga BBM.

Mahasiswa dalam kapasitas intelektualnya bersikap sinis dengan pemerintah karena tega menghisap rakyat melalui “politik penyelamatan APBN” yang secara riil membiarkan masyarakat membelanjakan kebutuhan pokok dengan harga mahal. Mahasiswa menganggap pemerintah tidak memihak masyarakat.

Pada situasi itu, siapakah sesungguhnya yang bisa disebut intelektual? Para akademikus pro pasar besar, teknokrat, dan rezim pendukung liberalisasi migas, ataukah mahasiswa dan intelektual kritis seperti Kwik Kian Gie dan Ikhsanuddin Noorsyi yang anticara berpikir pemerintah?

Menggugat Kekuasaan

Seorang intelektual—seperti diungkap pakar poskolonial Geeta Chowdhry–adalah sosok yang “secara jernih memandang setiap konteks imperialisme, dan punya keinginan kuat memproblematisasi representasi kultural yang terlanjur memperkuat situasi ketidakadilan antara penguasa (the colonizer) dan yang dikuasai (the colonized)” (Chowdhry, Power, Postcolonialism, and International Relations, 2002).

Di tengah situasi “peradaban bisnis” seperti sekarang ini, sikap kritis harus dimiliki semua orang, termasuk kelompok terpelajar. Jika tidak, mereka hanya akan menjustifikasi dan melegitimasi bentuk-bentuk dominasi, dari skala lokal hingga global.

Dengan definisi itu, performa teknokrat dan “cendekiawan negara” itu gagal disebut sebagai intelektual. Mereka gagal menunjukkan kemewahan intelegensianya untuk membongkar problem sosial dan kemanusiaan negeri ini. Mereka hampir tidak bicara status moral kekuasaan.

Momen bicara itu hanya jadi ajang mengampanyekan visi “pembangunanisme” dengan dasar liberalisme agar Indonesia menjadi salah satu negara adidaya di dunia, membangun fondasi ekonomi paling kuat di Asia, dan tak lama lagi akan menuju menjadi negara makmur.

Pernyataan seperti itu penuh debu ketidakcocokan dengan realitas yang diserap mayoritas rakyat.

Pernyataan seperti itu hanya mengulang dogma klasik pengikut neoliberalisme yang mencoba mematut-matutkan diri di tengah agenda pembangunan versi lembaga-lembaga ekonomi dunia dan negara asing untuk Indonesia. Kenyataannya, secara praksis rumah Indonesia ini belum menjadi tempat yang nyaman bagi sebagian besar warganya.

Fenomena kemiskinan absolut, pengangguran yang semakin memuncak, lautan demonstrasi buruh akibat upah murah, demonstrasi mahasiswa hingga berdarah akibat rencana kenaikan harga BBM yang dituntun skenario global, buruknya sistem pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi mayoritas warga, keadilan yang tidak terakses bagi semua, peradilan sesat, mafia pajak, politik uang, dan perusakanan lingkungan adalah lukisan realis Indonesia hari ini. Gambaran surealisme Indonesia 2045 itu sama sekali tidak menjejak di bumi.

Kata untuk Dunia

Kejadian ini menunjukkan tidak semua komunitas bergelar dari universitas dan mendisiplinkan diri pada tradisi akademis dapat disebut intelektual. Edward Said, seorang pakar linguistik sekaligus tokoh poskolonial dari Columbia University, mengatakan seseorang ditahbiskan sebagai intelektual karena memiliki kata-kata yang bisa digunakan untuk menembus dunia.

Intelektual merepresentasikan keyakinannya kepada publik melalui kata-katanya; cermin teguh diri pada kebenaran. Seorang intelektual harus siap terasing.

Ia tidak harus melakukan penyesuaian kepada masyarakat atau memberontak terhadap segala kemapanan. Ia hanya mengabdikan diri pada pencarian kebenaran melalui metodologi yang dimilikinya untuk memproduksi pengetahuan (Edward Said, 2008).

Kaum cendekiawan yang hanya menyalin kata-kata pemerintah tanpa pernah bersikap oposisi sesungguhnya tidak dapat dikatakan intelektual. Tentu tidak disalahkan jika ada di antara barisan akademikus yang menjadi staf khusus presiden, staf ahli gubernur, staf ahli bupati, dan sebagainya.

Namun yang diperlukan, berdasarkan profesinya adalah tetap setia pada “asas keberantaraan”, antara merekonstruksi dan mendekonstruksi. Pada tikungan terakhir, ketika negara/elite gagal merepresentasikan masyarakat dan kemanusiaan, ia harus menghindar agar tidak terjerumus sebagai propagandis atau juru bicara pseudo-borjuis.

Jalan yang jarang ditapaki inilah harus diambil setiap intelektual. Ia tak harus menjadi aktivis yang selalu mengkritik pemerintah, namun harus mampu berposisi untuk membongkar kebohongan-kebohongan, menganalisis masalah/motif/relasi kekuasaan, dan membuat pertanyaan untuk hal yang sering tidak dipertanyakan lagi.

Ia harus menjadi “nabi bagi kebenaran yang tak tersekat waktu”. Ia harus berusaha mempertahankan status moral, kemanusiaan, dan kebudayaan agar lebih tinggi dari kepentingan politik dan ekonomi. Jika tidak ia hanya akan menjadi pengutip data statistik kemudian menggunakannya untuk berdusta.

Tentu bukan itu peran intelektual. Karena jika itu maka lebih tepat disebut sebagai “perselingkuhan yang berhasil”, memakai istilah Paul Ricoeur, seseorang mengaku intelektual tapi melakukan tindakan-tindakan anti-intelektual. Jangan sampai!

*Penulis adalah dosen di FISIP Universitas Malikussaleh.

Tidak ada komentar: